Sekarang ini mulai
digadang-gadangkan pendidikan karakter. Dulu juga sudah, tapi mungkin proses
dan hasilnya kurang dari apa yang diharapkan, maka wacana akan pendidikan ini
digeliatkan lagi. Mengapa pendidikan karakter, ada apa dengan karakter anak
bangsa Indonesia?
Jika kita memperhatikan manusia Indonesia produk
paruh kedua abad terakhir ini, cukup rasanya membuat perasaan kita miris. Fenomena
anomali yang bersifat ironi dan paradoks menjadi tayangan yang dapat disaksikan
dalam keseharian kita. Pendidik yang seharusnya mendidik malah harus dididik,
penegak hukum yang semestinya menegakkan hukum ternyata harus dihukum, pejabat
yang seyogianya melayani masyarakat, terbalik minta dilayani, dan orang-orang
ternama yang hendaknya jadi panutan malah mempertontonkan laku jelek.
Semua yang tersebut di
atas bersumber dari karakter. Dalam bahasa agama, akhlak. Karena itu menjadi
amat penting dan mendesak untuk dilembagakan suatu pola pendidikan yang
menekankan kebaikan karakter. Orang lebih dapat eksis dengan karakter yang
baik daripada dengan otak cerdas tapi perilaku tercela. Bahkan menurut
penelitian Daniel Goleman, kecerdasan otak atau IQ hanya menyumbang 20 persen
bagi kesuksesan hidup seseorang, sedang 80 persennya diisi oleh
kekuatan-kekuatan lain.
Dalam ungkapan Inggris, habit
is second nature, kebiasaan adalah watak kedua. Artinya, karakter yang
terlembaga pada diri seseorang itu tidak lain adalah tumpukan-tumpukan
kebiasaan yang bermula dari sesuatu yang kecil saja. Sebagaimana tersebut dalam
pepatah, “Sow a thought, reap an action; sow an action, reap a habit; sow a
habit, reap a character; sow a character, reap a destiny.” Taburlah gagasan,
tuailah perbuatan; taburlah perbuatan, tuailah kebiasaan; taburlah kebiasaan,
tuailah karakter; dan taburlah karakter, maka tuailah takdir.
Mengutip apa yang dikatakan Aristotelis: “weare what we repeatedly to do.Excellence, then, is not an act, but a habit,”
kita adalah apa yang kita lakukan secara berulang-ulang. Karena itu, keunggulan
bukanlah suatu perbuatan, melainkan suatu kebiasaan. Maka sebenarnya yang
dimaksudkan dalam pendidikan karakter adalah pendidikan habituatif, yaitu
pendidikan untuk membiasakan nilai-nilai kebaikan di dalam kehidupan anak sejak
dini.
Kembali meminjam bahasa agama, bahwa manusia itu
pada hakikatnya adalah baik. fitrah manusia itu adalah hanif,
lurus, tidak membangkang pada kebaikan yang sudah dipatenkan Tuhan. Hanya saja,
dalam perjalanan, berbagai hal mempengaruhi hidupnya, sehingga menjadilah ia
sebagai mana ia menjadi. Tetapi perlu diingat, bahwa karakter bukanlah sesuatu
yang bersifat statik, permanen, ia tidak lain hanyalah jalinan yang tercipta
dari suatu kebiasaan, sedang kebiasaan itu bisa diubah. Meski sulit, tapi tidak
ada yang mustahil.
Bagaimana menerapkan pendidikan karakter di
tengah kehidupan yang anomali dan paradoks ini? Tentu bukan sesuatu yang mudah,
namun juga bukan suatu yang mustahil untuk dilakukan dan nihil dalam
menghasilkan tujuan. Masih besar kemungkinan, dan masih panjang perjalanan
untuk terus melakukan sesuatu yang berarti.
Pendidikan karakter masuk kelas, itu memang
seharusnya. Lebih dari itu, ia juga harus ditanamkan melalui kegiatan-kegiatan pembiasaan
yang pelaksanaannya baik dilakukan secara spontan, terencana, maupun melalui
keteladanan. Perlu diingat kembali pepatah tersebut di atas, bahwa sumber
perilaku itu adalah pikiran. Dari mana pikiran itu tercipta, bisa melalui
proses abstraksi dari apa yang dilihat, hubungan pergaulan yang dirasa,
dan pengetahuan yang didengar dari guru-guru.
Menarik untuk diketengahkan, dalam suatu
pendidikan pesantren, pimpinan Pondok Modern Gontor Ponorogo selalu
menekankan ucapan ini pada santri-santrinya, bahwa apa yang kamu lihat, kamu
dengar, dan kamu rasakan di Pondok modern ini adalah pendidikan. Karena itu
semua yang ada di Pondok harus terlibat dan berupaya menonjolkan sesuatu yang
terbaik dari dirinya, agar semuanya mendapatkan pelajaran.
Seorang pendidik yang baik setidaknya sadar,
bahwa penglihatan, perasaan, dan pendengaran biasanya bersifat sequence atau
berurutan. Seorang anak akan sulit menerima tuturan-tuturan bijak yang
didengarnya dari sang guru kalau dia melihat tindakan dan merasakan hubungan yang
tidak baik dari gurunya. Karena itu penting untuk meneladankan nilai-nilai
kebaikan dalam perilaku sehari-hari agar para murid melihat; menciptakan
hubungan yang baik agar mereka merasa; dan mengarahkan mereka pada suatu hal
yang baik dan benar agar mereka mau mendengar dan melakukan.
Apa yang dilihat anak memberi andil yang cukup
besar dalam melahirkan pikiran untuk berperilaku. Karena itu dalam kegiatan
intrakurikuler dan ekstrakurikuler, pendidikan karakter harus dimasukkan. Dalam
kurikulum muatan lokal misalnya, seorang guru bisa saja mengajak anak-anak
didik ke luar kelas untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mendidik dari
lingkungan. Bukankah prinsip dari kurikulum ini adalah memperkenalkan pada anak
wawasan budaya bangsa, lingkungan, dan keterampilan daerah.
Namun sekolah hanyalah tangan kedua, pada
dasarnya yang paling berpengaruh dalam membetuk karakter anak adalah keluarga.
Masalahnya orang tua sekarang banyak yang tidak punya waktu untuk memberikan
perhatian pada wilayah ini, bahkan untuk mau tahu saja sulit. Buktikan saja,
berapa banyak orang tua yang meluangkan waktu untuk menambah pengetahuan dengan
membaca buku-buku berkualitas dalam mendidik anak. Atau jangan-jangan tidak
satu buku pun tentang itu yang mereka punya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar