Dalam konteks
pendidikan, istilah fasilitator semula lebih banyak diterapkan untuk
kepentingan pendidikan orang dewasa (andragogi), khususnya dalam lingkungan
pendidikan non formal. Namun sejalan dengan perubahan makna pengajaran yang
lebih menekankan pada aktivitas siswa, belakangan ini di Indonesia istilah
fasilitator pun mulai diadopsi dalam lingkungan pendidikan formal di sekolah,
yakni berkenaan dengan peran guru pada saat melaksanakan interaksi belajar
mengajar. Wina Senjaya (2008) menyebutkan bahwa sebagai fasilitator, guru
berperan memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses
pembelajaran.
Peran guru sebagai fasilitator membawa konsekuensi terhadap
perubahan pola hubungan guru-siswa, yang semula lebih bersifat “top-down”
ke hubungan kemitraan. Dalam hubungan yang bersifat “top-down”,
guru seringkali diposisikan sebagai “atasan” yang cenderung bersifat
otoriter, sarat komando, instruksi bergaya birokrat, bahkan pawang, sebagaimana
disinyalir oleh Y.B. Mangunwijaya (Sindhunata, 2001). Sementara, siswa lebih
diposisikan sebagai “bawahan” yang harus selalu patuh mengikuti instruksi dan
segala sesuatu yang dikehendaki oleh guru.
Berbeda dengan pola hubungan “top-down”, hubungan kemitraan
antara guru dengan siswa, guru bertindak sebagai pendamping belajar para
siswanya dengan suasana belajar yang demokratis dan menyenangkan. Oleh karena
itu, agar guru dapat menjalankan perannya sebagai fasilitator seyogyanya
guru dapat memenuhi prinsip-prinsip belajar yang dikembangkan dalam pendidikan
kemitraan, yaitu bahwa siswa akan belajar dengan baik apabila:
1. Siswa secara penuh dapat mengambil bagian
dalam setiap aktivitas pembelajaran
2. Apa yang dipelajari bermanfaat dan praktis (usable).
3. Siswa mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan
secara penuh pengetahuan dan keterampilannya dalam waktu yang cukup.
4. Pembelajaran dapat mempertimbangkan dan
disesuaikan dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya dan daya pikir siswa.
5. Terbina saling pengertian, baik antara
guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa
Di samping itu, guru
seyogyanya dapat memperhatikan karakteristik-karakteristik siswa yang akan
menentukan keberhasilan belajar siswa, diantaranya:
1. Setiap siswa memiliki pengalaman dan potensi
belajar yang berbeda-beda.
2. Setiap siswa memiliki tendensi untuk
menentukan kehidupannnya sendiri.
3. Siswa lebih memberikan perhatian pada hal-hal
menarik bagi dia dan menjadi kebutuhannnya.
4. Apabila diminta menilai kemampuan diri
sendiri, biasanya cenderung akan menilai lebih rendah dari kemampuan
sebenarnya.
5. Siswa lebih menyenangi hal-hal yang bersifat
kongkrit dan praktis.
6. Siswa lebih suka menerima saran-saran daripada
diceramahi.
7. Siswa lebih menyukai pemberian penghargaan (reward)
dari pada hukuman (punishment).
Selain dapat memenuhi
prinsip-prinsip belajar dan memperhatikan karakteristik individual, juga guru
dapat memperhatikan asas-asas pembelajaran sebagai berikut:
1. Kemitraan, siswa tidak dianggap sebagai bawahan melainkan diperlakukan
sebagai mitra kerjanya
2. Pengalaman nyata, materi pembelajaran disesuaikan dengan
pengalaman dan situasi nyata dalam kehidupan sehari-hari siswa.
3. Kebersamaan, pembelajaran dilaksanakan melalui kelompok dan
kolaboratif.
4. Partisipasi, setiap siswa dilibatkan dalam proses
pengambilan keputusan sehingga mereka merasa bertanggung jawab atas pelaksanaan
keputusan tersebut, sekaligus juga bertanggung atas setiap kegiatan belajar
yang dilaksanakannya.
5. Keswadayaan, mendorong tumbuhnya swadaya (self supporting)
secara optimal atas setiap aktivitas belajar yang dilaksanakannya.
6. Manfaat, materi pembelajaran disesuaikan dengan
kebutuhan dan dapat memberikan manfaat untuk memecahkan masalah-masalah yang
dihadapi siswa pada masa sekarang mau pun yang akan datang.
7. Lokalitas, materi pembelajaran dikemas dalam bentuk yang
paling sesuai dengan potensi dan permasalahan di wilayah (lingkungan) tertentu
(locally specific), yang mungkin akan berbeda satu tempat dengan tempat
lainnya.
Pada bagian lain, Wina Senjaya (2008) mengemukakan bahwa agar
guru dapat mengoptimalkan perannya sebagai fasilitator, maka guru perlu
memahami hal-hal yang berhubungan dengan pemanfaatan berbagai media dan sumber
belajar. Dari ungkapan ini, jelas bahwa untuk mewujudkan dirinya sebagai fasilitator,
guru mutlak perlu menyediakan sumber dan media belajar yang cocok dan beragam
dalam setiap kegiatan pembelajaran, dan tidak menjadikan dirinya sebagai
satu-satunya sumber belajar bagi para siswanya.
Terkait dengan sikap dan perilaku guru sebagai fasilitator, di
bawah ini dikemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan guru untuk dapat
menjadi seorang fasilitator yang sukses:
1. Mendengarkan dan tidak mendominasi. Karena siswa merupakan pelaku utama dalam
pembelajaran, maka sebagai fasilitator guru harus memberi kesempatan agar siswa
dapat aktif. Upaya pengalihan peran dari fasilitator kepada siswa bisa
dilakukan sedikit demi sedikit.
2. Bersikap sabar. Aspek utama pembelajaran adalah proses belajar
yang dilakukan oleh siswa itu sendiri. Jika guru kurang sabar melihat proses
yang kurang lancar lalu mengambil alih proses itu, maka hal ini sama dengan
guru telah merampas kesempatan belajar siswa.
3. Menghargai dan rendah hati. Guru berupaya menghargai siswa dengan
menunjukan minat yang sungguh-sungguh pada pengetahuan dan pengalaman mereka
4. Mau belajar. Seorang guru tidak akan dapat bekerja sama dengan siswa
apabila dia tidak ingin memahami atau belajar tentang mereka.
5. Bersikap sederajat. Guru perlu mengembangkan sikap kesederajatan
agar bisa diterima sebagai teman atau mitra kerja oleh siswanya
6. Bersikap akrab dan melebur. Hubungan dengan siswa sebaiknya dilakukan
dalam suasana akrab, santai, bersifat dari hati ke hati (interpersonal
realtionship), sehingga siswa tidak merasa kaku dan sungkan dalam
berhubungan dengan guru.
7. Tidak berusaha menceramahi. Siswa memiliki pengalaman, pendirian, dan keyakinan
tersendiri. Oleh karena itu, guru tidak perlu menunjukkan diri sebagai
orang yang serba tahu, tetapi berusahauntuk saling berbagai pengalaman
dengan siswanya, sehingga diperoleh pemahaman yang kaya diantara keduanya.
8. Berwibawa. Meskipun pembelajaran harus berlangsung dalam
suasana yang akrab dan santai, seorang fasilitator sebaiknya tetap dapat
menunjukan kesungguhan di dalam bekerja dengan siswanya, sehingga siswa akan
tetap menghargainya.
9. Tidak memihak dan mengkritik. Di tengah kelompok siswa seringkali terjadi
pertentangan pendapat. Dalam hal ini, diupayakan guru bersikap netral dan
berusaha memfasilitasi komunikasi di antara pihak-pihak yang berbeda pendapat,
untuk mencari kesepakatan dan jalan keluarnya.
10. Bersikap terbuka. Biasanya siswa akan lebih terbuka apabila
telah tumbuh kepercayaan kepada guru yang bersangkutan. Oleh karena itu, guru
juga jangan segan untuk berterus terang bila merasa kurang mengetahui sesuatu,
agar siswa memahami bahwa semua orang selalu masih perlu belajar
11. Bersikap positif. Guru mengajak siswa untuk mamahami keadaan
dirinya dengan menonjolkan potensi-potensi yang ada, bukan sebaliknya
mengeluhkan keburukan-keburukannya. Perlu diingat, potensi terbesar setiap
siswa adalah kemauan dari manusianya sendiri untuk merubah keadaan
Sumber:
Sindhunata. 2001. Pendidikan:
Kegelisahan Sepanjang Zaman, Yogyakarta : Kanisius
Wina Senjaya. 2008. Strategi
Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Proyek P2MPD. 2000. Fasilitator
dalam Pendidikan Kemitraan (Materi IV-4-1). Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar