Indonesia adalah salah satu negara
multikultural terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari
kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu berag
am dan luas. Keragaman ini diakui atau tidak akan dapat menimbulkan berbagai persoalan, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kekerasan, perusakan lingkungan, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain, merupakan bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturalisme tersebut. Berkaitan dengan hal ini, pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dll. Karena itulah yang terpenting dalam pendidikan multikultural adalah seorang guru atau dosen tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa. Pada gilirannya, out-put yang dihasilkan dari sekolah/universitas tidak hanya cakap sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya, tetapi juga mampu menerapkan nilai-nilai keberagamaan dalam memahami dan menghargai keberadaan para pemeluk agama dan kepercayaan lain.
am dan luas. Keragaman ini diakui atau tidak akan dapat menimbulkan berbagai persoalan, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kekerasan, perusakan lingkungan, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain, merupakan bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturalisme tersebut. Berkaitan dengan hal ini, pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dll. Karena itulah yang terpenting dalam pendidikan multikultural adalah seorang guru atau dosen tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa. Pada gilirannya, out-put yang dihasilkan dari sekolah/universitas tidak hanya cakap sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya, tetapi juga mampu menerapkan nilai-nilai keberagamaan dalam memahami dan menghargai keberadaan para pemeluk agama dan kepercayaan lain.
Kata Kunci: Pendidikan multikultural, keberagamaan inklusif, dan materi PAI
Praktek kekerasan yang mengatasnamakan
agama, dari fundamentalisme, radikalisme, hingga terorisme, akhir-akhir
ini semakin marak di tanah air. Kesatuan dan persatuan bangsa saat ini
sedang diuji eksistensinya. Berbagai indikator yang memperlihatkan
adanya tanda-tanda perpecahan bangsa, dengan transparan mudah kita baca.
Konflik di Ambon, Papua, maupun Poso, seperti api dalam sekam,
sewaktu-waktu bisa meledak, walaupun berkali-kali bisa diredam.
Peristiwa tersebut, bukan saja telah banyak merenggut korban jiwa,
tetapi juga telah menghancurkan ratusan tempat ibadah (baik masjid
maupun gereja).
Bila kita amati, agama seharusnya dapat
menjadi pendorong bagi ummat manusia untuk selalu menegakkan perdamaian
dan meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh ummat di bumi ini. Namun,
realitanya agama justru menjadi salah satu penyebab terjadinya
kekerasanan dan kehancuran ummat manusia. Oleh karena itu, diperlukan
upaya-upaya preventif agar masalah pertentangan agama tidak akan
terulang lagi di masa yang akan datang. Misalnya, dengan mengintensifkan
forum-forum dialog antar ummat beragama dan aliran kepercayaan (dialog
antar iman), membangun pemahaman keagamaan yang lebih pluralis dan
inklusif, dan memberikan pendidikan tentang pluralisme dan toleransi
beragama melalui sekolah (lembaga pendidikan).
Pada sisi yang lain, pendidikan agama
yang diberikan di sekolah-sekolah pada umumnya juga tidak menghidupkan
pendidikan multikultural yang baik, bahkan cenderung berlawanan.
Akibatnya konflik sosial sering kali diperkeras oleh adanya legitimasi
keagamaan yang diajarkan dalam pendidikan agama di sekolah-sekolah
daerah yang rawan konflik. Hal ini membuat konflik mempunyai akar dalam
keyakinan keagamaan yang fundamental sehingga konflik sosial kekerasan
semakin sulit diatasi, karena dipahami sebagai bagian dari panggilan
agamanya.
Realita tersebut menunjukkan bahwa
pendidikan agama baik di sekolah umum maupun sekolah agama lebih
bercorak eksklusive, yaitu agama diajarkan dengan cara menafikan hak
hidup agama lain, seakan-akan hanya agamanya sendiri yang benar dan
mempunyai hak hidup, sementara agama yang lain salah, tersesat dan
terancam hak hidupnya, baik di kalangan mayoritas maupun minoritas.
Seharusnya pendidikan agama dapat dijadikan sebagai wahana untuk
mengembangkan moralitas universal yang ada dalam agama-agama sekaligus
mengembangkan teologi inklusif dan pluralis. Berkaitan dengan hal ini,
maka penting bagi institusi pendidikan dalam masyarakat yang multikultur
untuk mengajarkan perdamaian dan resolusi konflik seperti yang ada
dalam pendidikan multikultural.
MEMAHAMI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Akar pendidikan multikultural, berasal
dari perhatian seorang pakar pendidikan Amerika Serikat Prudence
Crandall (18-3-1890) yang secara intensif menyebarkan pandangan tentang
arti penting latar belakang peserta didik, baik ditinjau dari aspek
budaya, etnis, dan agamanya. Pendidikan yang memperhatikan secara
sungguh-sungguh latar belakang peserta didik merupakan cikal bakal bagi
munculnya pendidikan multikultural.
Secara etimologi istilah pendidikan
multikultural terdiri dari dua term, yaitu pendidikan dan
multikultural. Pendidikan berarti proses pengembangan sikap dan tata
laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan melalui
pengajaran, pelatihan, proses dan cara mendidik. Dan multikultural
diartikan sebagai keragaman kebudayaan, aneka kesopanan.
Sedangkan secara terminologi, pendidikan
multikultural berarti proses pengembangan seluruh potensi manusia yang
menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekwensi keragaman
budaya, etnis, suku dan aliran (agama). Pengertian seperti ini
mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan, karena pendidikan
dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan
demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan
penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia.
Konsep pendidikan multikultural dalam
perjalanannya menyebar luas ke kawasan di luar AS khususnya di
negara-negara yang memiliki keragaman etnis, rasionalisme, agama dan
budaya seperti di Indonesia. Sedangkan wacana tentang pendidikan
multikultural, secara sederhana dapat didefenisikan sebagai "pendidikan
untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis
dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara
keseluruhan".
Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo
Freire, pendidikan bukan merupakan "menara gading" yang berusaha
menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu
menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan
sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat
kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya. Pendidikan multikultural
(multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan
keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi
setiap kelompok. Dan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup
seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender,
etnik, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Selanjutnya James Bank, -salah seorang
pioner dari pendidikan multikultural dan telah membumikan konsep
pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan- mengatakan
bahwa substansi pendidikan multikultural adalah pendidikan untuk
kebebasan (as education for freedom) sekaligus sebagai penyebarluasan
gerakan inklusif dalam rangka mempererat hubungan antar sesama (as
inclusive and cementing movement).
Mengenai fokus pendidikan multikultural,
Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural,
fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan
kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi
tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan
pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok
minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya
menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam
masyarakat mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan
sikap "peduli" dan mau mengerti (difference), atau "politics of
recognition" politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok
minoritas.
Melihat dan memperhatikan pengertian pendidikan multikultural di atas, dapat diambil beberapa pemahaman, antara lain; pertama,
pendidikan multikultural merupakan sebuah proses pengembangan yang
berusaha meningkatkan sesuatu yang sejak awal atau sebelumnya sudah ada.
Karena itu, pendidikan multikultural tidak mengenal batasan atau
sekat-sekat sempit yang sering menjadi tembok tebal bagi interaksi
sesama manusia;
Kedua, pendidikan multikultural
mengembangkan seluruh potensi manusia, meliputi, potensi intelektual,
sosial, moral, religius, ekonomi, potensi kesopanan dan budaya. Sebagai
langkah awalnya adalah ketaatan terhadap nilai-nilai luhur kemanusiaan,
penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang, penghargaan
terhadap orang-orang yang berbeda dalam hal tingkatan ekonomi, aspirasi
politik, agama, atau tradisi budaya.
Ketiga, pendidikan yang
menghargai pluralitas dan heterogenitas. Pluralitas dan heterogenitas
adalah sebuah keniscayaan ketika berada pada masyarakat sekarang ini.
Dalam hal ini, pluralitas bukan hanya dipahami keragaman etnis dan suku,
akan tetapi juga dipahami sebagai keragaman pemikiran, keragaman
paradigma, keragaman paham, keragaman ekonomi, politik dan sebagainya.
Sehingga tidak memberi kesempatan bagi masing-masing kelompok untuk
mengklaim bahwa kelompoknya menjadi panutan bagi pihak lain. Dengan
demikian, upaya pemaksaan tersebut tidak sejalan dengan nafas dan nilai
pendidikan multikultural.
Keempat, pendidikan yang
menghargai dan menjunjung tinggi keragaman budaya, etnis, suku dan
agama. Penghormatan dan penghargaan seperti ini merupakan sikap yang
sangat urgen untuk disosialisasikan. Sebab dengan kemajuan teknologi
telekomunikasi, informasi dan transportasi telah melampaui batas-batas
negara, sehingga tidak mungkin sebuah negara terisolasi dari pergaulan
dunia. Dengan demikian, privilage dan privasi yang hanya memperhatikan
kelompok tertentu menjadi tidak relevan. Bahkan bisa dikatakan
“pembusukan manusia” oleh sebuah kelompok.
Dalam konteks itu, pendidikan
multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan
pandangan dasar bahwa sikap "indiference" dan "Non-recognition" tidak
hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma
pendidikan multikultural mencakup subyek-subyek mengenai ketidakadilan,
kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas
dalam berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain
sebagainya. Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian
tentang 'ethnic studies" untuk kemudian menemukan tempatnya dalam
kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi.
Tujuan inti dari pembahasan tentang subyek ini adalah untuk mencapai
pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan
disadventaged.
Secara garis besar, paradigma pendidikan
multikultural diharapkan dapat menghapus streotipe, sikap dan pandangan
egoistik, individualistik dan eksklusif di kalangan anak didik.
Sebaliknya, dia senantiasa dikondisikan ke arah tumbuhnya pandangan
komprehensif terhadap sesama, yaitu sebuah pandangan yang mengakui bahwa
keberadaan dirinya tidak bisa dipisahkan atau terintegrasi dengan
lingkungan sekeliling yang realitasnya terdiri atas pluralitas etnis,
rasionalisme, agama, budaya, dan kebutuhan. Oleh karena itu, cukup
proporsional jika proses pendidikan multikultural diharapkan membantu
para siswa dalam mengembangkan proses identifikasi (pengenalan) anak
didik terhadap budaya, suku bangsa, dan masyarakat global. Pengenalan
kebudayaan maksudnya anak dikenalkan dengan berbagai jenis tempat
ibadah, lembaga kemasyarakatan dan sekolah. pengenalan suku bangsa
artinya anak dilatih untuk bisa hidup sesuai dengan kemampuannya dan
berperan positif sebagai salah seorang warga dari masyarakatnya.
Sementara lewat pengenalan secara global diharapkan siswa memiliki
sebuah pemahaman tentang bagaimana mereka bisa mengambil peran dalam
percaturan kehidupan global yang dia hadapi.
URGENSI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA
Sebagaimana diketahui bahwa model
pendidikan di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan agama dan
pendidikan nasional. Pendidikan yang ada sekarang ini cenderung
menggunakan metode kajian yang bersifat dikotomis. Maksudnya, pendidikan
agama berbeda dengan pendidikan nasional. Pendidikan agama lebih
menekankan pada disiplin ilmu yang bersifat normatif, establish, dan
jauh dari realitas kehidupan.
Sedangkan pendidikan nasional lebih
cenderung pada akal atau inteligensi. Oleh karena itu, sangat sulit
menemukan sebuah konsep pendidikan yang benar-benar komprehensif dan
integral.
Salah satu faktor munculnya permasalahan
itu adalah adanya pandangan yang berbeda tentang hakikat manusia.
Kuatnya perbedaan pandangan terhadap manusia menyebabkan timbulnya
perbedaan yang makin tajam dalam dataran teoritis, dan lebih tajam lagi
pada taraf operasional. Fenomena tersebut, menjadi semakin nyata ketika
para pengelola lembaga pendidikan memiliki sikap fanatisme yang sangat
kuat, dan mereka beranggapan bahwa paradigmanya yang paling benar dan
pihak yang lain salah, sehingga harus diluruskan.
Manusia dan pendidikan adalah dua hal
yang tidak dapat dipisahkan. Manusia sepanjang hidupnya melaksanakan
pendidikan. Bila pendidikan bertujuan membina manusia yang utuh dalam
semua segi kemanusiaannya, maka semua segi kehidupan manusia harus
bersinggungan dengan dimensi spiritual (teologis), moralitas,
sosialitas, emosionalitas, rasionalitas (intelektualitas), estetis dan
fisik. Namun realitanya, proses pendidikan kita masih banyak menekannkan
pada segi kognitf saja, apalagi hanya nilai-nilai ujian yang menjadi
standar kelulusan, sehingga peserta didik tidak berkembang menjadi
manusia yang utuh. Akibat selanjutnya akan terjadi beragam tindakan yang
tidak baik seperti yang akhir-akhir ini terjadi: tawuran, perang,
penghilangan etnis, ketidakadilan, kesenjangan ekonomi, korupsi,
ketidakjujuran, dan sebagainya.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka
keberadaan pendidikan multikultural sebagai strategi pendidikan yang
diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran, dengan cara menggunakan
perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada siswa sangat diperlukan,
dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Pendidikan multikultural secara inheren sudah ada sejak bangsa Indonesia ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah suka gotong royong, membantu, menghargai antara suku dan lainnya.
- Pendidikan multikultural memberikan secercah harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Keberhasilan pendidikan dengan mengabaikan ideologi, nilai-nilai, budaya, kepercayaan dan agama yang dianut masing-masing suku dan etnis harus dibayar mahal dengan terjadinya berbagai gejolak dan pertentangan antar etnik dan suku. Salah satu penyebab munculnya gejolak seperti ini, adalah model pendidikan yang dikembangkan selama ini lebih mengarah pada pendidikan kognitif intelektual dan keahlian psikomotorik yang bersifat teknis semata. Padahal kedua ranah pendidikan ini lebih mengarah kepada keahlian yang lepas dari ideologi dan nilai-nilai yang ada dalam tradisi masyarakat, sehingga terkesan monolitik berupa nilai-nilai ilmiah akademis dan teknis empiris. Sementara menurut pendidikan multikultural, adalah pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai keyakinan, heterogenitas, pluralitas agama apapun aspeknya dalam masyarakat.
- Pendidikan multikultural menentang pendidikan yang berorientasi bisnis. Pendidikan yang diharapkan oleh bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah pendidikan ketrampilan semata, melainkan pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis kecerdasan, yang sering disebut kecerdasan ganda (multiple intelligence). Menurut Howard Gardner, kecerdasan ganda yang perlu dikembangkan secara seimbang adalah kecerdasan verbal linguistic, kecerdasan logika matematika, kecerdasan yang terkait dengan spasialRuang, kecerdasan fisik kinestetik, kecerdasan dalam bidang musik, kecerdasan yang terkait dengan lingkungan alam, kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal. Jadi, jika ketrampilan saja yang dikembangkan maka pendidikan itu jelas berorientasi bisnis.
- Pendidikan multikultural sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada jenis kekerasan. Kekerasan muncul ketika saluran perdamaian sudah tidak ada lagi.
Dengan demikian, pendidikan
multikultural sekaligus untuk melatih dan membangun karakter siswa agar
mampu bersikap demokratis, humanis, dan pluralis di lingkungan mereka.
BAGAIMANA MEMBANGUN KEBERAGAMAAN INKLUSIF DI SEKOLAH?
Di era multikulturalisme dan pluralisme,
pendidikan agama sedang mendapat tantangan karena ketidakmampuannya
dalam membebaskan peserta didik keluar dari eksklusifitas beragama.
Wacana kafir-iman, muslim non-muslim, surga-neraka seringkali menjadi
bahan pelajaran di kelas selalu diindoktrinasi.
Pelajaran teologi diajarkan sekedar
untuk memperkuat keimanan dan pencapaiannya menuju surga tanpa dibarengi
dengan kesadaran berdialog dengan agama-agama lain. Kondisi inilah yang
menjadikan pendidikan agama sangat eksklusif dan tidak toleran. Padahal
di era pluralisme dewasa ini, pendidikan agama mesti melakukan
reorientasi filosofis paradigmatik tentang bagaimana membangun pemahaman
keberagamaan peserta didik yang lebih inklusif-pluralis, multikultural,
humanis, dialogis-persuasif, kontestual, substantif dan aktif sosial.
Paradigma keberagamaan yang
inklusif-pluralis berarti menerima pandapat dan pemahaman lain yang
memiliki basis ketuhanan dan kemanusiaan. Pemahaman keberagamaan yang
multikultural berarti menerima adanya keragaman ekspresi budaya yang
mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan keindahan. Pemahaman yang humanis
adalah mengakui pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dalam beragama,
artinya seorang yang beragama harus dapat mengimplementasikan
nilai-nilai kemanusiaan; menghormati hak asasi orang lain, peduli
terhadap orang lain dan berusaha membangun perdamaian bagi seluruih umat
manusia.
Pradigma dialogis-persuasif lebih
mengedepankan dialog dan cara-cara damai dalam melihat perselisihan dan
perbedaan pemahaman keagmaan dari pada melakukan tindakan-tondakan fisik
seperti teror, perang, dan bentuk kekerasan lainnya. Paradigma
kontekstual berarti menerapkan cara berfikir kritis dalam memahami
teks-teks keagamaan. Paradigma keagamaan yang substantif berarti lebih
mementingkan dan menerapkan nilai-nialai agama dari pada hanya melihat
dan mengagungkan simbol-simbol keagamaan. Sedangkan peradigma pemahaman
keagmaan aktif sosial berati agama tidak hanya menjadi alat pemenuhan
kebutuhan rohani secara pribadi saja. Akan tetapi yang terpenting adalah
membangun kebersamaan dan solidaritas bagi seluruh manusia melalui
aksi-aksi sosial yang nyata yang dapat meningkatkan kesejahteraan umat
manusia.
Dengan membangun paradigma pemahaman
keberagmaan yang lebih humanis, pluralis, dan kontekstual diharapkan
nilai-niali universal yang ada dalam agama sepeti kebenaran, keadilan,
kemanusiaaan, perdamaian dan kesejahteraan umat manusia dapat
ditegakkan. Lebih khusus lagi, agar kerukunan dan kedamaian antar umat
bergama dapat terbangun.
Contoh kasus yang berakaitan dengan
problematika keberagamaan di sekolah dan bagaimana peran guru/dosen
dalam membangun pemahaman keberagamaan yang inklusisf pada siswa:
Beberapa bulan setelah kasus pemboman
dua buah kafe di kota A, seorang guru, setelah membaca berita di media
massa, bercerita tentang kasus tersebut di depan murid-muridnya. Dia
bercerita bahwa apa yang telah dilakukan oleh B dan kawan-kawan adalah
bagian dari jihad. Dia menambahkan bahwa apa yang dilakukan B cs,
menurut agama, tidak berdosa telah melakukan tindakan tersebut karena
para korban adalah orang kafir yang beragama C yang sedang senang-senang
di sebuah kafe.
Penjelasan guru atau dosen seperti ini,
tentunya sangat menyesatkan bagi peserta didiknya. Guru dalam kisah
tersebut, telah menumbuhkan sikap permusuhan terhadap pemeluk agama C,
dan telah melegalkan tindakan kekerasan terhadap oarang lain (umat
beragama lain). Dalam hal ini, seharusnya guru menjelaskan bahwa
tindakan B dan kawan-kawan tidak bisa dibenarkan baik secara hukum
maupun menurut agama. Dia juga harus menjelaskan bahwa semua agama atau
kepercayaan yang ada di bumi ini, tidak pernah memerintahkan kepada
pemeluknya untuk melakukan kekerasan terhdap siapa saja, termasuk pada
pemeluk agama lain.
Mencermati gambaran peristiwa tersebut
di atas, guru dan sekolah memegang peranan penting dalam
mengimplementasikan nilai-nilai kebergamaan yang inkluisf di sekolah.
apabila guru mempunyai paradigma pemahaman keberagamaan yang inkluisf,
maka dia juga akan mampu mengajarkan dan mengimplementasikan niali-nilai
keberagamaan tersebut pada siswa di sekolah.
Peran Guru dan Sekolah dalam Membangun Keberagamaan Inklusif di Sekolah
Peran guru dalam hal ini meliputi;
pertama, seorang guru/dosen harus mampu bersikap demokratis, baik dalam
sikap maupun perkataannya tidak diskriminatif. Kedua, guru/dosen
seharusnya mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kejadian-kejadian
tertentu yang ada hubungannya dengan agama. Misalnya, ketika terjadi bom
Bali (2003), maka seorang guru yang berwawasan multikultural harus
mampu menjelaskan keprihatinannya terhadap peristiwa tersebut. Ketiga,
guru/dosen seharusnya menjelaskan bahwa inti dari ajaran agama adalah
menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh ummat manusia, maka
pemboman, invasi militer, dan segala bentuk kekerasan adalah sesuatu
yang dilarang oleh agama. Keempat, guru/dosen mampu memberikan pemahaman
tentang pentingnya dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan berbagai
permasalahan yang berkaitan dengan keragaman budaya, etnis, dan agama
(aliran), misalnya, kasus penyerbuan dan pengusiran Jamaah Ahmadiyah di
NTB tidak perlu terjadi, jika wacana inklusivisme beragama ditanamkan
pada semua elemen masyarakat termasuk peserta didik.
Selain guru, sekolah juga memegang
peranan penting dalam membangun lingkungan pendidikan yang pluralis dan
toleran. Langkah-langkah yang dapat ditempuh antara lain; pertama, untuk
membangun rasa saling pengertian sejak didi antara siswa-siswa yang
mempunyai keyakinan berbeda maka sekolah harus berperan aktif
menggalakkan dialog antariman dengan bimbingan guru-guru dalam sekolah
tersebut. Dialog antariman semacam ini merupakan salah satu upaya yang
efektif agar siswa terbiasa melakukan dialog dengan penganut agama yang
berbeda; kedua, hal yang paling penting dalam penerapan pendidikan
multikultural yaitu kurikulum dan buku-buku pelajaran yang dipakai, dan
diterapkan di sekolah.
Pengembangan Materi Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural
Dalam rangka membangun keberagamaan
inklusif di sekolah ada beberapa materi pendidikan agama Islam yang bisa
dikembangkan dengan nuansa multikultural, antara lain:
Pertama, materi al-Qur’an,
dalam menentukan ayat-ayat pilihan, selain ayat-ayat tentang keimanan
juga perlu ditambah dengan ayat-ayat yang dapat memberikan pemahaman dan
penanaman sikap ketika berinteraksi dengan orang yang berlainan agama,
sehingga sedini mungkin sudah tertanam sikap toleran, inklusif pada
peserta didik, yaitu a) materi yang berhubungan dengan pengakuan
al-Qur’an akan adanya pluralitas dan berlomba dalam kebaikan
(Al-Baqarah/2: 148); b) Materi yang berhubungan dengan pengakuan
koeksistensi damai dalam hubungan antar umat beragama (al-Mumtahanah/60:
8-9); c) materi yang berhubungan dengan keadilan dan persamaan
(an-Nisa’/4: 135)
Kedua, materi fiqih, bisa
diperluas dengan kajian fikih siyasah (pemerintahan). Dari fikih siyasah
inilah terkandung konsep-konsep kebangsaan yang telah dicontohkan pada
zaman, Nabi, Sahabat ataupun khalifah-khalifah sesudahnya. Pada zaman
Nabi misalnya, bagaimana Nabi Muhammad mengelola dan memimpin masyarakat
Madinah yang multi-etnis, multi-kultur, dan multi-agama. Keadaan
masyarakat Madinah pada masa itu tidak jauh beda dengan masyarakat
Indonesia, yang juga multi-etnis, multi-kultur, dan multi-agama.
Ketiga, materi akhlak yang
menfokuskan kajiannya pada perilaku baik-buruk terhadap Allah, Rasul,
sesama manusia, diri sendiri, serta lingkungan, penting artinya bagi
peletakan dasar-dasar kebangsaan. Sebab, kelanggengan suatu bangsa
tergantung pada Akhlak, bila suatu bangsa meremehkan akhlak, punahlah
bangsa itu. Dalam Al-Qur’an telah diceritakan tentang kehancuran kaum
Luth, disebabkan runtuhnya sendi-sendi moral. Agar Pendidikan Agama
bernuansa multikultural ini bisa efektif, peran guru agama Islam memang
sangat menentukan. Selain selalu mengembangkan metode mengajar yang
variatif, tidak monoton. Dan yang lebih penting, guru agama Islam juga
perlu memberi keteladanan.
Keempat, materi SKI, materi
yang bersumber pada fakta dan realitas historis dapat dicontohkan
praktik-praktik interaksi sosial yang diterapkan Nabi Muhammad ketika
membangun masyarakat Madinah. Dari sisi historis proses pembangunan
Madinah yang dilakukan Nabi Muhammad ditemukan fakta tentang pengakuan
dan penghargaan atas nilai pluralisme dan toleranasi.
Agar pemahaman pluralisme dan toleransi
dapat tertanam dengan baik pada peserta didik, maka perlu ditambahkan
uraian tentang proses pembangunan masyarakat Madinah dalam materi
“Keadaan Masyarakat Madinah Sesudah Hijrah”, dalam hal ini dapat
ditelusuri dari Piagam Madinah. Sebagai salah satu produk sejarah umat
Islam, piagam Madinah merupakan bukti bahwa Nabi Muhammad berhasil
memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan, penegakan hukum,
jaminan kesejahteraan bagi semua warga serta perlindungan terhadap
kelompok minoritas. Beberapa ahli tentang sejarah Islam menyebut Piagam
Madinah sebagai loncatan sejarah yang luar biasa.
Bila kita cermati, bunyi naskah
konstitusi itu sangat menarik. Ia memuat pokok-pokok pikiran yang dari
sudut tinjauan modern pun mengagumkan. Dalam konstitusi itulah pertama
kalinya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi pandangan hidup modern di
dunia, seperti kebebasan beragama, hak setiap kelompok untuk mengatur
hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan hubungan ekonomi antar
golongan dan lain-lain.
Menurut Nurcholish Madjid, toleransi
merupakan persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika
toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang “enak” antara
berbagai kelompok yang berbeda-beda, maka hasil itu harus dipahami
sebagai “hikmah” atau “manfaat” dari pelaksanaan suatu ajaran yang
benar. Hikmah atau manfaat itu adalah sekunder nilainya, sedangkan yang
primer adalah ajaran yang benar itu sendiri. Sebagai sesuatu yang
primer, toleransi harus dilaksanakan dan diwujudkan dalam masyarakat,
sekalipun untuk kelompok tertentu –untuk diri sendiri- pelaksanaan
toleransi secara konsekwen itu mungkin tidak menghasilkan sesuatu yang
“enak”.
Materi-materi yang bersumber pada pesan agama dan fakta yang terjadi di lingkungan sebagai diuraikan di atas merupakan kisi-kisi minimal dalam rangka memberikan pemahaman terhadap keragaman umat manusia dan untuk memunculkan sikap positif dalam berinteraksi dengan kelompok-kelompok yang berbeda. Dalam proses pendidikan, materi itu disesuaikan dengan tingkatan dan jenjang pendidikan. Maksudnya, sumber bacaan dan bahasa yang digunakan disesuaikan dengan tingkat intelektual peserta didik di masing-masning tingkat pendidikan. Untuk tingkat pendidikan lanjutan, materi dipilih dengan menyajikan fakta-fakta historis dan pesan-pesan al-Qur’an yang lebih konkrit serta memberikan perbandingan dan perenungan atas realitas yang sedang terjadi di masyarakat saat ini.
Materi-materi yang bersumber pada pesan agama dan fakta yang terjadi di lingkungan sebagai diuraikan di atas merupakan kisi-kisi minimal dalam rangka memberikan pemahaman terhadap keragaman umat manusia dan untuk memunculkan sikap positif dalam berinteraksi dengan kelompok-kelompok yang berbeda. Dalam proses pendidikan, materi itu disesuaikan dengan tingkatan dan jenjang pendidikan. Maksudnya, sumber bacaan dan bahasa yang digunakan disesuaikan dengan tingkat intelektual peserta didik di masing-masning tingkat pendidikan. Untuk tingkat pendidikan lanjutan, materi dipilih dengan menyajikan fakta-fakta historis dan pesan-pesan al-Qur’an yang lebih konkrit serta memberikan perbandingan dan perenungan atas realitas yang sedang terjadi di masyarakat saat ini.
PENUTUP
Pendidikan multikultural kian mendesak
untuk di laksanakan di sekolah. dengan pendidikan multikultural, sekolah
menjadi lahan untuk menghapus prasangka, dan sekaligus untuk melatih
dan membangun karakter siswa agar mampu bersikap demokratis, humanis dan
pluralis.
Ada dua hal yang perlu dilakukan dalam
pembangunan pendidikan multikultural di sekolah, yaitu; pertama,
melakukan dialog dengan menempatkan setiap peradaban dan kebudayaan yang
ada pada posisi sejajar. Kedua, mengembangkan toleransi untuk
memberikan kesempatan masing-masing kebudayaan saling memahami.
Toleransi disini tidak hanya pada tataran konseptual, melainkan juga
pada teknik operasionalnya.
Daftar Pustaka
Abd. Rahman, Assegaf, Politik
Pendidikan Nasional Pergeseran Kebijakan Pendidikan Agama Islam dari
Praproklamasi ke Reformasi, Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005.
Achmad, Nur (ed.), Pluralitas Agama Kerukunan Dalam Keragaman, Jakarta: PT. Gramedia, 2001.
Ainul Yaqin, M. Pendidikan Multikultural
Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Yogyakarta:
Pilar Media, 2005.
Asy’arie, Musa, “Pendidikan
Multikultural dan Konflik Bangsa”, Kompas, 3 September 2004, 4-5.
Ma’arif, Syamsul, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, Yogyakarta: Logung
Pustaka, 2005.
Dawam, Ainurrofiq “Emoh” Sekolah Menolak
“Komersialisasi Pendidikan” dan “Kanibalisme Intelektual”, Menuju
Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: INSPEAL Press, 2003.
Freire, Paulo, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, terj. Alois A. Nugroho, Jakarta: Gramedia, 1984.
Gorski, Paul, Multicultural Philosophy
Series, Part 1: A Brief History of Multicultural Education, The
McGraw-Hill Companies, 2003.
H.A.R, Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia Jakarta: Grasindo, 2002.
Machalli dan Musthofa, Imam, Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004.
Madjid, Nurcholish, “Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi: Tantangan dan Kemungkinan”, Republika, 10 Agustus 1999, 4-5.
Muhaemin Al-Ma’hady, “ Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural” dalam http://artikel.us/muhaemin 6-04.html, 27 Mei 2004.
Sadir, Darwis, “Piagam Madinah”, Al-Qanun Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam, Vo. 5, No. 1, Juni 2003, 250-257.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar